Serba-Serbi Tradisi Among-Among

Administrator 11 Januari 2019 08:30:46 WIB

Oleh : Rahma

Among-among adalah sebuah tradisi di Yogyakarta untuk memperingati hari kelahiran seseorang yang masih hidup, berdasarkan penanggalan Jawa yang biasa juga disebut ‘weton’ atau ‘hari pasaran’.

Tradisi ini sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak leluhur. Sebagian masyarakat ada yang menganggap tradisi ini sebagai salah satu adat dari ‘kejawen’, kepercayaan yang dilestarikan di daerah Keraton Yogyakarta. Kini keberadaannya hanya dianggap sebagai tradisi saja karena tidak termasuk dalam ritual agama.

Dalam praktiknya, tradisi among-among hanya dilaksanakan oleh masyarakat desa di Yogyakarta yang masih mempertahankan tradisi leluhurnya. Masyarakat modern di perkotaan tidak melaksanakannya, bahkan mungkin tidak mengenalnya. Ada pula masyarakat desa yang sudah mulai meninggalkan tradisi ini, karena dianggap kuno dan merepotkan.

Mari saya jelaskan bagaimana penanggalan Jawa dipakai sebagai dasar tradisi among-among.

Kami masyarakat Jawa, mengenal penanggalan Jawa ada lima hari pasaran yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. Dikalikan dengan 7 hari Masehi, maka hari dalam penanggalan Jawa ada 35 atau disebut ‘selapan’. Untuk itu, among-among dilakukan tiap selapan sekali, bukan setahun sekali. Ketika seorang bayi lahir, masyarakat kami tidak hanya mengingat hari dan tanggal lahir Masehi saja seperti yang kemudian dibuat menjadi akta kelahiran. Namun, masyarakat kami juga mengingat hari pasaran seperti di atas. Misalnya, saya lahir pada Kamis Pon, maka among-among akan dibuat pada Kamis Pon sekali dalam selapan.

Among-among sendiri berasal dari kata ‘pamomong’, artinya yang ‘ngemong’ atau yang mengasuh. Pengasuh di sini maksudnya adalah Tuhan— ada juga yang mengartikannya sebagai malaikat Tuhan, atau roh halus yang dipercaya hidup bersama setiap diri manusia.

Secara umum, among-among merupakan wujud doa untuk seseorang yang masih hidup dan bersifat individu. Wujud doa di sini, divisualkan melalui sajian makanan yang tiap-tiapnya mengandung nilai filosofis dan doa. Pada sajian-sajian inilah sebenarnya syarat dan juga inti dari among-among ( yang akan kita bahas nanti). Selain itu among-among juga bertujuan untuk bersedekah kepada tetangga sekitar.

Berbeda dengan tradisi lain yang dilaksanakan oleh suatu kelompok, seperti ‘nyadran’ dan ‘wiwitan’, among-among biasa dibuat per keluarga. Dalam keluarga itu, jika ada dua atau tiga anggota yang memilki weton yang sama, misalnya saya, ibu saya, dan adik saya lahir pada Kamis Pon, bisa dibuatkan among-among bersama atau jadi satu. Tentu saja, sajiannya akan lebih banyak.

Hal yang menarik dari among-among memang terletak pada macam-macam sajian yang masing-masing mempunyai makna tersendiri:

1. Jenang

Jenang dibuat dari tepung beras atau tepung ketan. Ada tiga jenis jenang yang utama yaitu jenang merah, jenang putih, dan jenang dengan taburan gula merah dan parutan kelapa. Jenang putih melambangkan ayah, yaitu perwujudan manusia yang berasal dari air mani. Jenang merah, melambangkan ibu dan sel telur. Sedangkan jenang dengan irisan gula dan parutan kelapa melambangkan sifat dan unsur yang ada dalam diri manusia itu sendiri, seperti sifat ingin memberontak, sifat ingin mengejar nafsu duniawi, sifat amarah, dan sifat-sifat baik yang membawa diri manusia selalu beribadah kepada Tuhan. Selain itu ada juga jenang yang lain, seperti jenang baro-baro dan jenang putih yang diberi tanda silang di atasnya. Jenang baro-baro berasal dari kata ‘babare wong loro’ yang artinya manusia lahir atas hubungan ayah dan ibu, ketika sel sperma membuahi sel telur. Jenang putih yang diberi tanda silang, dimaksudkan agar manusia selalu terhindar dari bala.

2. Tumpeng yang ditusuk cabai merah berbentuk keris.

Tumpeng adalah harapan agar manusia selalu kokoh dan tegar seperti gunung. Sedangkan cabai merah yang berbentuk keris adalah harapan agar manusia selalu berpikiran lurus dan tajam.

3. Golong

Adalah nasi yang dibentuk bulat dan padat. Disebut golong karena makudnya adalah ‘rejeki kang gumolong’, yaitu rejeki yang besar, utuh, dan menyeluruh baik rejeki yang berupa harta maupun kesehatan jasmani/rohani.

4. Nasi gurih dan sambal gepèng

Sambal gepèng dibuat dari kacang kedelai atau kacang polong goreng yang diuleg dengan garam dan cabai, juga ikan asin ‘pethek’. Disajikan bersama nasi gurih dalam wadah dari daun pisang yang bernama ‘takir’ atau ‘pincuk’. Makna sajian ini adalah harapan agar manusia selalu diberi kenikmatan seperti rasa nasi gurih dan sambal gepèng yang lezat, dengan ‘takir’— takaran yang pas.

5. ‘Kothok’ atau sayur kluwih

Buah timbul atau kluwih bermakna ‘linuwih’ atau ‘keluwihan’ yaitu kelebihan. Sayur ini tidak hanya berisi kluwih saja, tapi juga labu, kacang panjang, tempe, dan kulit melinjo. Doa dalam sayur kluwih ini adalah manusia mempunyai kelebihan dalam hidupnya, entah itu dalam hal rezeki maupun akal/bakat/prestasi.

6. Pisang raja dan pulut setangkep atau sesisir.

Pisang raja bermakna agar manusia dihormati seperti raja. Sedangkan pisang pulut bermakna ‘kepulut’ atau lengket, yaitu agar manusia bisa kasihi oleh masyarakat di sekitarnya.

7. Gudangan

Gudangan adalah sayur-sayuran seperti bayam, kangkung, lembayung, kecambah, dan wortel yang direbus. Kemudian disajikan bersama parutan kelapa yang dibuat seperti urap. Gudangan merupakan tumbuh-tumbuhan hijau yang melambangkan kesuburan. Harapannya manusia bisa memperoleh banyak rezeki yang berasal dari alam.

8. Tukon pasar atau jajanan pasar.

Tukon pasar berisi kacang kulit rebus, pisang, apem, dan bengkoang. Selain itu ada tukon pasar lain seperti tape dan kue cara. Tukon pasar ini melambangkan suka cita, dan karena hanya sebagai pelengkap saja, maka tidak diwajibkan ada.

9. Patlepet dan kembang wangi.

Patlepet dijabarkan sebagai kalimat ‘menawi lepat’, artinya manusia memiliki banyak kesalahan. Jadi patlepet ini melambangkan manusia mengakui kesalahannya dan menginsafkan dirinya dari perilaku atau prasangka buruk yang telah diperbuat. Patlepet sendiri berisi ketupat kecil, kerupuk mentah, dan buah-buahan kecil seperti kedondong, salak, atau jambu biji.

10. Kembang wonang-waning dan wijikan.

Kembang wonang-waning adalah bunga-bungaan seperti bunga mawar, melati, dan kanthil yang di letakkan di mangkuk atau gelas berisi air bersih. Bunga-bunga ini melambangkan kebaikan. Sedangkan wijikan di sini berupa air bersih dalam mangkuk yang diberi uang logam 500 rupiah. Maksudnya, agar manusia selalu ‘wijik’ atau membasuh, yaitu membasuh dirinya dengan bersedekah walaupun dengan nilai kecil, agar hidupnya berkah.

Selain macam-macam sajian di atas, ada juga lauk pauk seperti sayur tempe, mie kuning dan mie putih, tumis buncis, tempe goreng, telur rebus, dan lain-lain. Itu semua disajikan dalam wadah kecil yang bernama ‘sudhi’.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa lauk-lauk dalam sudhi adalah bentuk kesudian dalam bersedekah, walaupun sedikit.

Selanjutnya, sajian ini akan diletakkan berjajar di atas tikar atau karpet. Pemilik rumah akan mengundang seorang kaum rais atau ‘sesepuh yang ‘alim’ untuk menghantarkan doa-doa kepada Tuhan. Sekilas, ritual ini terlihat musyrik, karena tak jarang menggunakan kemenyan yang dibakar ketika kaum rais itu membaca doa-doa. Walaupun demikian tidak mengubah tujuan among-among yaitu sebagai wujud doa, tanda syukur, dan untuk bersedekah kepada orang lain.

Setelah doa-doa dipanjatkan, patlepet akan ditaruh di tempat di mana ari-ari dahulu dikuburkan. Tempat ini disebut ‘bebatur’. Ari-ari tersebut adalah ari-ari saat orang yang dibuatkan among-among dahulu baru dilahirkan. Sedangkan sajian-sajian akan dibagikan kepada tetangga sekitar. Meskipun tidak seberapa, tapi bukan sedikit dan banyaknya lah ukuran sedekah itu, melainkan keikhlasan dan rasa suka cita berbagi.

Demikianlah serba-serbi mengenai tradisi among-among di Yogyakarta. Semoga menjadi pengetahuan untuk teman-teman semua.

Komentar atas Serba-Serbi Tradisi Among-Among

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
Isikan kode Captcha di atas