Nasib Permainan Tradisional di Era Digital

28 Januari 2019 08:41:58 WIB

Oleh: Rochma Efridaningrum

gambar diambil dari wego.co.id

Permainan tradisional atau oleh masyarakat Jawa kenal dengan sebutan ‘dolanan bocah’ merupakan bagian dari kekayaan kearifan lokal. Permainan ini telah ada sejak zaman dahulu, ketika masyarakat Jawa masih hidup sederhana dan menjunjung nilai-nilai yang kemudian diimplikasikan ke dalam permainan tradisional.

Pada tahun 2001 silam, anak-anak di desa Gilangharjo masih eksis memainkan permainan tradisional tersebut seperti sepak sekong/sekongan, jethungan, lompat tali, engklek/sunda manda, gatheng, dakon, jamuran, egrang, gobak sodor, dan banyak lagi permainan dengan ‘hompimpah’. Mereka memainkannya di luar ruangan atau di lapangan. Mereka juga masih memainkan mainan yang dibuat dengan bahan seadanya, seperti bedhilan yang terbuat dari bambu, egrang dari tempurung kelapa, dan lain-lainnya. Kendati dengan barang/alat dan cara yang sederhana, permainan tradisional ini terbukti mampu menguatkan tali persahabatan dan kebersamaan anak-anak. Mereka bermain bersama, tertawa bersama, dan bergembira bersama dengan apa yang ada.

Sebetulnya, saat itu anak-anak juga sudah mengenal permainan yang lebih modern, seperti mobil-mobilan, boneka, lego, dan mainan-mainan berbahan plastik lainnya yang bisa dibeli di pasar atau di toko. Tapi, mainan-mainan berharga tersebut belum sepenuhnya mampu mengambil hati mereka yang masih menjaga eksistensi permainan tradisional.

Dan sekarang di era digital ini, permainan tradisional sudah mulai tersingkirkan. Sulit sekali menemukan sekumpulan anak yang tengah bermain permainan tradisional, bahkan salah satunya yang terfavorit seperti gobak sodor. Semenjak smartphone dan internet merambah ke desa-desa, serta menawarkan beribu video dan games yang bisa didownload dengan sekali klik, anak-anak ternyata antusias sekali menanggapinya. Mereka kemudian lebih memilih diam di rumah dan bermain games daripada berkumpul bersama teman-temannya. Hal lain yang terjadi, mereka justru beramai-ramai pergi ke warnet seusai pulang sekolah dan berjam-jam bermain games di sana, seperti yang saya lihat sendiri beberapa hari lalu.

Apakah permainan tradisional telah dianggap tidak mampu memberikan kepuasan penghiburan oleh anak-anak ? Padahal jika dibandingkan dengan games atau permainan modern, permainan tradisional tidak kalah menarik. Di sisi lain, memainkan permainan tradisional jauh lebih tidak berefek samping sebagaimana games yang ada di smartphone. Permainan tradisional dapat mengasah kreativitas anak, kelincahan, keberanian, dan bagaimana ia bisa bersosialisasi dengan temannya secara alami. Sementara bermain games dengan smartphone yang acapkali dilakukan berjam-jam, seringkali membuat anak menjadi kecanduan dan lupa waktu belajar.

Hal yang parah lagi adalah bahaya radiasi smartphone yang memancar ke mata anak-anak yang masih muda. Paparan radiasi smartphone ke mata yang kemudian diteruskan ke otak bukanlah hal yang sepele, sebab efeknya bisa menjadi fatal.

Menurut Martin Blank, Doktor dari Universitas Colombia, AS, otak anak-anak menyerap lebih banyak radiasi dibandingkan orang dewasa. Sebab, tulang tengkorak anak lebih tipis dan lunak dibandingkan orang dewasa. Maka radiasi lebih mulus masuk ke elemen organ otak terdalam. Studi gabungan selama ini juga mengemukakan bahwa radiasi smartphone memicu pertumbuhan kanker. Dan pernyataan ini dibenarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia/WHO.

Selain dapat menyebabkan kanker, anak-anak juga berisiko kehilangan memori dan ketidak mampuan belajar akibat penggunaan smartphone dalam durasi panjang.

Baca selengkapnya : https://tekno.kompas.com/read/2016/03/10/11430077/Awas.Bahaya.Radiasi.Smartphone.Mengintai.Anak

Nasib permainan tradisional tengah dipertaruhkan. Melestarikannya telah menjadi tantangan bagi para pemerhatinya yang berusaha menghidupkannya lagi melalui festival-festival anak. Dan demikian pula yang saya harapkan ada di Desa Gilangharjo. Memiliki taman bermain anak yang menyuguhkan wahana permainan tradisional dan segala yang menunjang pengembangan diri anak adalah mungkin. Tak hanya itu, perlu diselenggarakan festival anak yang mengarah pada pelestarian dan penanaman rasa cinta terhadap kearifan lokal, misalnya lomba bermain permainan tradisional. Dalam hal ini, peran orang tua dan masyarakat sangat dibutuhkan.

Anak-anak sangat senang bermain. Saat permainan yang mereka mainkan mengandung nilai-nilai positif, maka itu sekaligus menjadi edukasi bagi mereka. Dan nilai-nilai positif itu ada pada permainan tradisional. Oleh sebab itu, melestarikannya di era digital ini sangat diperlukan. Jangan sampai permainan tradisional lambat laun menghilang, sebab tidak mendapatkan peminat lagi baik dari orang tua maupun anak-anak sebagai generasi penerus. [rh]

Komentar atas Nasib Permainan Tradisional di Era Digital

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
Isikan kode Captcha di atas