Resensi Buku Rumah Kertas

26 Februari 2019 11:03:08 WIB

Oleh: Rochma Efridaningrum

“Seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, Inggris, tewas ditabrak mobil saat sedang membaca buku. Rekannya mendapati sebuah buku aneh dikirim ke alamatnya tanpa sempat ia terima: sebuah terjemahan berbahasa Spanyol dari karya Joseph Conrad yang dipenuhi serpihan-serpihan semen kering dan dikirim dengan cap pos Uruguay. Penyelidikan tentang asal-usul buku aneh itu membawanya (dan membawa pembaca) memasuki semesta para pencinta buku, dengan berbagai ragam keunikan dan kegilaannya !”

Buku ‘Rumah Kertas’ ini berjudul asli La casa de papel, ditulis oleh penulis kelahiran Argentina bernama Carlos María Domínguez. Karya ini lebih pantas disebut novela karena berjumlah halaman kurang dari 100, yaitu 76 halaman. Menarik, buku ini telah diterjemahkan ke 20 bahasa dan disebut-sebut New York Times sebagai ‘buku tipis yang bisa menghantui pembaca jauh sesudah ditutup’.

Paragraf pertama yang mengawali cerita ditulis dengan kalimat yang mengesankan dan misterius:

“Pada musim semi 1998, bu dosen Bluma Lennon membeli satu eksemplar buku lawas Poems karya Emily Dickinson di sebuah toko buku di Soho, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal.” — hal. 1

Sebuah tragedi yang mengesankan. Cara meninggal Bluma kemudian menuai kontroversi. Beberapa orang penting di universitas berspekulasi bahwa meninggalnya Bluma ada hubungannya dengan buku puisi yang tengah ia baca, seperti yang disampaikan Profesor Robert Laurel dalam penutupan pidato perpisahan pemakaman Bluma: “Bluma membaktikan hidupnya pada sastra, tanpa pernah membayangkan bahwa sastralah yang akan merenggutnya dari dunia.” Beberapa yang lainnya cukup menarik kesimpulan bahwa Bluma meninggal karena kecelakan mobil, bukan puisi.

“Buku mengubah takdir hidup orang-orang.” —hal. 1

Tokoh Aku dijadikan penulis sebagai tokoh utama sekaligus pencerita. Ia adalah kolega Bluma sendiri, yang setelah meninggalnya dosen cantik itu dipilih universitas untuk menggantikan posisinya; mengajar mata kuliahnya dan menempati ruangannya. Tokoh Aku juga digambarkan sebagai seorang bibliofil (kutu buku) yang ruangan rumahnya dipenuhi buku. Nantinya ia akan bertemu bibliofil lain, yang merupakan tokoh-tokoh menonjol dalam novela ini. Hingga pada suatu hari, tokoh Aku menerima paket kiriman berperangko Uruguay yang ditujukan ke alamat Bluma, tanpa mencantumkan nama dan alamat pengirim. Setelah membuka isi paketnya, ia mendapati sebuah buku aneh yang berlapiskan kerikil halus dan  adonan semen kering di pinggiran halamannya. Buku itu berjudul La linea de sombra karya Joseph Conrad.

“Buat Carlos, novel ini telah menemaniku dari bandara ke bandara, demi mengenang hari-hari sinting di Monterrey itu. Sori kalau aku bertingkah sedikit mirip penyihir buatmu dan seperti sudah kubilang sedari awal: kau takkan pernah melakukan apapun yang mengejutkanku. 8 Juli 1996.”

Tulisan persembahan Bluma di halaman pertama buku itu semakin memunculkan rasa penasaran tokoh Aku, yang selanjutnya menariknya ke dalam perjalanan menguak asal-usul buku misterius tersebut.

Mula-mula ia membongkar berkas-berkas Bluma dan ia temukan ‘Dokumentasi Monterrey’ guna menemukan nama Carlos. Monterrey ini adalah tempat konferensi sastra dimana Bluma hadir di sana. Kemudian seorang penulis Uruguay yang menjadi pembicara di konferensi itu, yang ia kirimi pesan, merespon pesannya. Penulis itu memberitahu bahwa ada seseorang bibliofil dari negaranya bernama Carlos Brauer, hadir sebagai pendengar. Saat itu Brauer dan Bluma memang sempat menjalin hubungan. Kabarnya, sekarang Brauer tinggal di Rocha, wilayah Uruguay yang menghadap Samudera Atlantik.

“Jauh lebih sulit membuang buku ketimbang memperolehnya. Dengan mereka kita terikat pada pakta kebutuhan dan pengabaian, seolah mereka menjadi saksi momen hidup kita yang takkan pernah terjumpai lagi. Namun selama buku-buku itu masih ada, momen itu pun tetap menjadi bagian dari diri kita.” — hal. 9

Baru saat liburan mengajarnya tokoh Aku hendak pergi ke Rocha, ia justu singgah ke Montevideo. Ia menemui Jorge Dinarli, pemilik toko buku lawas terbaik di sana, seorang yang ternyata mengenal Brauer bertahun-tahun di antara bibliofil lainnya. Pertemuannya dengan Dinarli berlangsung singkat, tapi darinya ia peroleh informasi: Brauer tidak di Rocha melainkan di La Paloma, dan saran untuk menemui Augustin Delgado— seorang bibliofil yang lebih dekat dengan Brauer.

Perjalanan menguak misteri asal-usul buku itu berlanjut. Berhadapan dengan Delgado, tokoh Aku mendengar banyak hal tentang kegilaan para bibliofil dan kolektor buku, dari yang unik hingga aneh. Dan kegilaan Brauer sendiri menjadi kutu buku, bagaimana ia memperlakukan buku-buku yang memenuhi rumahnya. Konon hanya lotenglah ruang yang tersisa untuknya tidur, namun teman Delgado itu memergoki buku-buku juga ada di tempat tidur Brauer, dengan bentuk yang tak pernah terbayangkan oleh siapapun sebelumnya. Hingga pada suatu hari Brauer memboyong buku-bukunya pergi, setelah tragedi kebakaran yang menghanguskan indeks bukunya.

Brauer membeli sebidang tanah di tempat terpencil di pinggir laut Rocha, masih dengan harapan bahwa buku-buku yang menemaninya itu bisa melindunginya dari panas, dingin, dan angin. Jadi ia mendirikan pondok dari teman-teman sekaligus karya terbesarnya itu. Ya. Brauer menggunakan buku-bukunya untuk dinding pondoknya. Benar-benar dari bukunya !

“…Anda barangkali pernah lihat bagaimana batako retak dan batu bata patah jadi dua. Namun jilidan buku malah lebih kuat.” —hal. 54

Sebagaimana kisah ini diawali dengan tragedi meninggalnya Bluma, kisah ini pun menunjukkan tragedi lagi yang terjadi pada Carlos Brauer. Manakala tokoh perlahan-lahan menyibak misteri buku aneh itu, ia bertolak ke tempat rumah buku Brauer itu berada, yang kemudian ia dapati telah berantakan. Beberapa terbenam ke pasir seperti jasad yang ditanam. Jelas tak ada Brauer di sana. Apa yang telah terjadi ?

Misteri terkuak dengan jelas ketika ia bertemu dengan nelayan-nelayan yang bersaksi atas akhir nasib Brauer dan rumah bukunya itu. Mereka sebetulnya tidak berani dekat dengan Brauer, tapi seorang anak yang berani mendekatinya kemudian bercerita ulang. Suatu hari Brauer menerima surat dari London, yang kemudian membuatnya mencari-cari sebuah buku di dinding pondoknya. Setelah buku itu berhasil ia cabut, ia pergi ke pos pengiriman. Tapi sial pondoknya menjadi rusak gara-gara satu buku tadi. Tokoh Aku yakin buku La linea de sombra yang diminta Bluma kembali itu benar-benar berasal dari rumah buku Brauer.

Seperti akhir perjalanan buku-buku lain yang terkubur di pasir pantai itu, tokoh Akupun mengakhiri perjalanan La linea de sombra di tempat yang tepat.

“Orang rupanya juga bisa mengubah takdir buku-buku.” —hal. 57

Diksi (pemilihan kata) menarik yang digunakan penulis mampu mengubah keseluruhan cerita menjadi bagian terbaiknya. Peristiwa-peristiwa yang mencengangkan sebatas dituturkan oleh pihak-pihak yang dijumpai tokoh Aku, tapi tetap mampu mengaduk-aduk emosi dan membawa pembaca ikut menyaksikannya. Saya melihat, walaupun cerita ini  sangat memuaskan para pencinta buku, penulis seolah-olah justru sedang menegur mereka dengan pertanyaan: “Sudah seberapa banyak buku yang kamu baca ? Sudah seberapa banyak buku yang kamu koleksi ?” [rh]

Komentar atas Resensi Buku Rumah Kertas

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
Isikan kode Captcha di atas